Oleh: Saunir Saun (bukan penyair)
Ini nampaknya, telah “mengganggu” para pembaca puisi saya. Maksudnya, kenapa saya yang menulis syair menyebut ‘bukan penyair’. Ini telah berlangsung lama: sejak puisi saya saya mulai bagikan di medsos, seperti Facebook (Fb) dan Whatsap (WA).
Seingat saya, ada yang berkomentar bahwasanya saya tidak “PD”, tidak percaya diri, bahwa saya merendah-rendahkan diri agar tidak terkesan menyombong, bahwa kalau sudah menulis puisi/syair, itu namanya sudah penyair, dan lain-lain yang mendorong saya dengan cara dan “sense” bahasa yang bermacam-macam pula.
Pada pokoknya saya paham maksud mereka, teman-teman yang peduli itu karena menyangka bahwa saya berbuat seperti itu adalah karena alasan-alasan seperti di atas, antara lain. Boleh jadi mereka menganggap saya begitu karena mereka memahami makna leksikal saja dari ‘bukan penyair’ itu. Padahal, menurut pemahaman saya bahwa sebuah nama profesi bisa dilekatkan pada seseorang apabila dia telah memenuhi persyaratan-persyaratan professional, yaitu persyaratan-persyaratan untuk sebuah profesi.
Ketika seseorang yang “mampu” menulis puisi agak intensif, sementara tidak punya kemampuan untuk mendeklamasikan dengan baik, dengan penuh penghayatan dan perasaan sehingga penyebutan bahasanya dengan deklamasinya tidak sejalan dan menarik, sudah berhak menyandang gelar ‘penyair?
Bagi siapa saja yang “mampu” menulis puisi tapi tidak mampu mendeklamasikan seperti yang saya maksud di atas, karena masalah penghayatan dan deklamasi yang boleh jadi juga karena “keluguan” seperti saya, apakah sudah dianggap memenuhi persyaratan professional? Sehingga sudah dapat disebut penyair? Bagi saya belum! Makanya saya memakai penanda ‘bukan penyair’ itu selama ini. Inilah alasan saya dari dahulu.
Saya memang diberi saran-saran oleh banyak teman untuk menghilangkan saja frasa ‘bukan penyair’ itu dari setiap puisi yang saya buat sambil memuji bahwa puisi-puisi saya itu “bagus-bagus” dan sudah banyak. Setiap saran seperti itu saya terima saya baca dan saya kaitkan dengan konsep saya tentang “profesi” penyair itu sebagaimana yang saya utarakan di atas. Sampai saat saya menulis ini, saya telah menulis lebih dari seribu seratus puisi.
Dari saran yang masuk ke medsos saya itu ada yang berbahasa instruktif agar dihilangkan saja dan ada pula yang bernada saran yang disertai dengan alasan.
Ketika pagi hari ini, pikiran saya diubah oleh saran seorang teman saya, Bapak Armen Amir, mantan/pensiunan dosen MIPA UNP. Beliau juga rajin mmembuat puisi. Alasan beliau itu beliau sampaikan kembali (dulu juga sudah ada tapi tidak dengan alasan serupa). Kini Pak Armen Amir menulis begini:
“Memakai ‘bukan penyair’ berkonotasi ‘tidak percaya diri’ dan menyindir penyair yang lain dan terkesan kita bersembunyi dalam makna ‘bukan penyair’.’
Setelah saya renungkan, kata-kata “… menyindir penyair yang lain …”, saya merasa menjadi “jahat” dan “egois’ apabila memang ada atau mungkin telah ada yang mengira begitu. Ini dapat menimbulkan perpecahan dengan teman-teman yang memang penyair dan menganggap saya penyair pula tapi menggunakan “bukan penyair”. Dapat terganggu di antara saya dengan mereka secara psikologis dan professional. Tidak benar saya tidak percaya diri dan juga tidak benar saya bersembunyi dalam makna ‘bukan penyair itu. Jadi yang menjadi alasan adalah kalau saya dianggap menyindir penyair-penyair yang telah “jadi”.
Jadi, saya mulai hari ini saya setuju untuk tidak lagi menuliskan frasa “bukan penyair” pada ujung nama saya pada setiap puisi yang (akan) saya buat dengan alasan menghindari potensi salah paham antara teman-teman penyair dengan saya.
Saya berterima kasih kepada Saudara saya, Bapak Armen Amir atas saran yang baik (friendly suggestion) dan untuk menghindari perpecahan kelompok.
Kepada teman-teman medsos yang selama ini telah menegemukakan saran untuk penghilangan ‘bukan penyair’ itu saya juga menyampaikan terima kasih atas perhatiannya.
Semoga Alloh selalu menunjuki kita.
Aamiin.
Rumahku, 17 Maret 2024 M./7 Ramadan 1445 H.