Oleh: Harris Effendi Thahar *)
Sastrawan Pramudia Ananta Toer pernah berkata, sehebat apa pun seseorang kalau tidak menulis dia akan hilang dalam sejarah. Maka adalah seorang Saunir Saun yang saat ini berusia menjelang 70 tahun yang telah dinobatkan DPD Satu Pena Sumatra Barat sebagai Penyair Prolifik 2023. Di usianya yang tidak muda lagi, pensiunan dosen Bahasa dan Sastra Inggris ini menulis setiap hari seajak 2020 dan mengunggahnya di media sosial. Ternyata, mendapat sambutan yang luar biasa dari netizen.
Salah seorang penikmat tulisan Saunir Saun berupa puisi itu adalah Ketua Satu Pena Sumatra Barat, Sastri Bakri. Selanjutnya, Saunir diundang ke sebuah forum pertemuan sambil memperkenalakan kepada publik, dan diberi penghargaaan. Saunir juga diminta kesediaannya untuk menerima tawaran penerbitan kumpulan puisi yang telah ditulisnya itu.
Goresan Puisi di Hari Tua, judul buku Saunis Saun yang diterbitkan atas prakarsa Satu Pena Sumatra Barat oleh Penerbit Pustaka Artaz, 2023, hari ini Sabtu, 16 Maret 2024, kita perbincangkan dalam rangkaian acara ‘bedah buku’.
Ada beberapa orang bertanya kepada saya, mengapa Pak Saunir Saun itu selalu menulis di bawah namanya, bukan penyair di dalam tanda kurung? Padahal dia menulis syair-syair yang tak kalah bagusnya dari yang telah ditulis oleh penyair-penyair terdahulu. Jawaban saya kepada para penyanya, itu karena kerendahan hati penulisnya saja. Mengapa kerendahan hati? Sepengetahuan saya, sebelum beliau memasuki masa pensiun 2019 dari PNS, belum pernah saya baca publikasi syair-syairnya. Artinya, Saunir Saun menulis dan memublikasikannya di media sosial setelah usia lanjut, sementara para penyair yang kita kenal, seperti Taufiq Ismail, Goeawan Mohamad, Sutardji Calzoum Bachri, telah menusi puisi sejak muda belia. Orang-orang menamainya penyair karena puisi-puisinya berkembang menjadi karya sastra Indonesia yang ikut mewarnai khazanah sastra dunia. Sementara, Saunir “ merasa belum berpengalaman”, jangan sebut saya penyair.
Ada pun puisi-puisi yang ditulis Saunir Saun lebih dekat dengan jenis syair, yang ditulis berbaris-baris seperti pantun, namun tanpa sampiran. Akan tetapi, bunyi persajakannya terasa tak dipaksakan, malah sepertinya kata-demi-kata jatuh dengan nyaman dalam baris-baris puisinya. Genre puisi ini mirip dengan genre puisi-puisi yang ditulis oleh penyair-penyair Pujangga Baru yang lahir pada 1933 dengan tokoh-tokohnya Sutan Takdir Alisyahbana dan Sanusi Pane. Akan tetapi, saya tidak bermaksud mengatakan puisi-puisi Saunir Saun dalam kumpulan ini merupakan puisi-puisi jadul (jaman dulu). Bukan. Apa salahnya kalau penulis puisi zaman sekarang mengambil pola puisi lama untuk mengantarkan hal-hal kekinian, masalah kita hari ini? Salah satu puisi Saunir dengan gaya Pujangga Baru yang menarik hati saya adalah ‘Peganglah Tanganku’ (7), simak dua bait pertama berikut ini.
Kawan-kawanku di sana
Peganglah tanganku segera
Agar kau tidak terbenam makin dalam
Dalam keruhnya air selokan
Baju bersihmu kini telah kau biarkan
Bercak-bercak oleh air selokan
Demi kau menunjukkan kesetiaan
Yang dipaksakan
Dst….
Puisi ini, tiba-tiba saya merasa mencium syair yang berbau kekinian. Mari kita simak lagi baik ke 12 ini.
Makanya, kini peganglah tanganku
Kenapa kau nampaknya ragu
Hendaklah kau tahu kini kau sedang tertipu
Jangan kira kedudukan selamanya untukmu.
Pada dasarnya, puisi-puisi yang terhimpun dalam buku ini lebih banyak berupa perenungan penulis tentang dunia kehidupan kita. Itu semua terlihat dari judul-judul seperti; Bunga, Daun Jatuh, Ujung Doa, Layang-layang, Utang, Jenggotku, dan Masih Kau Bangunkan Aku. Hal itu tampaknya tersebab oleh tingkat kematangan jiwa dan usia penulis yang telah terbebas dari kecengengan. Selain kematangan jiwa, adalah konsistensi dan kesetiaan menulis, nyaris setiap hari yang disebut sebagai penulis subur, atau penulis prolifik.
Seperti yang disebut Khairul Jasmi, jaman sekarang jarang ada penulis yang bicara tentang dunia kita, dunia sekeliling dan di dalamnya ada diri kita. Oleh sebab itu puisi-pusi yang ditulis Saunir Saun nyaris setiap hari di FB, dinanti banyak netizen. Setelah membacanya, terasa kesegaran bahasa puisi Saunir merasuk ke dalam sukma. Konon, saya dengar masih ada tiga naskah buku puisi lagi siap terbit.
Menurut Goenawan Mohamad (1982), sebenarnya puisi Indonesia tidak berubah dari angkatan-ke angkatan, melainkan, pembaharuan selalui terjadi. Menurutnya, Sutardji bukanlah pembaharu, melainkan seorang penyair yang kuat dan bersungguh-sungguh. Begitulah kehadiran Saunir Saun sebagai penyair yang tidak mau disebut sebagai penyair, telah menulis puisi dengan pola-pola syair, dengan beragam tema. Di antara tema-tema itu, adalah perenungan diri, pendidikan moral, dan satire.
Khusus tentang puisi satire, Saunir tidak mau berapi-api atau mengejek dengan tajam, tapi lembut serta diikuti oleh unsur jenaka. Salah satu puisi satire itu adalah Merindukan Bulan. Simak bait kedua berikut ini.
Entah kenapa manusia membuli pungguk
Si belalang yang berbadan lemah dan empuk
Tak punya kemampuan terbang tinggi
Pohon kelapa saja tidak terlintasi.
Dan seterusnya….
Satu hal pembaharuan yang terjadi terjadi seperti yang dikatakan Goenawan Mohamad, bahwa Saunir Saun telah memperbaharui pola-pola syair untuk puisi-puisi yang ditulisnya dengan teknik naratif komunikatif.
Demikianlah pembicaraan singkat saya tentang buku puisi Goresan Puisi di Hari Tua karya Saunir Saun. Selamat berdiskusi. Terimakasih.
Padang, 15 Maret 2024
*). Penulis, Prof. Dr. Harris Effendi Thahar, M.Pd, lahir di Tembilahan Riau, 4 Januari 1950. Guru Besar Emiritus pada Fakultas Bahasa dsn Seni, UNP. Menikah dg Dra. Meitra Aziz yg memberinya 3 orang anak dan 7 cucu. Ketua Dewan Kesenian Sumatra Barat 2008-2011. Buku kumpulan cerpennya al. Si Padang, penerbit Kompas, 2003 ; Anjing Bagus, 2005 (Kompas), dan Rumah Ibu, Kompas. 2020. Dan sejumlah cerpen dalam sejumlah buku kumpulan cerpen pilihan Kompas.