Karena itu, si pengguna media sosial harus cerdas menilai mana informasi yang bisa dipercaya dan mana yang tidak. Informasi yang diterima harus disaring dulu. Jangan sesekali meneruskan dan mengirimkan informasi yang tidak benar, informasi bohong. Karena hal itu beresiko dan bisa merugikan diri sendiri. Kita pun yakin, ada memang informasi bohong/hoaks yang sengaja disebarluaskan oleh pihak-pihak tertentu di tahun politik ini. Tujuannya untuk membunuh karakter seseorang atau pasangan calon, sekaligus menciptakan opini yang bisa mempengaruhi pilihan pembaca.
Yang perlu digarisbawahi, jika sekarang hoaks merajalela, sesunggunya ini tak muncul tiba-tiba. Jika kita cermati akar persoalannya, maka menurut Suwidi Tono (2018) karena pertama, literasi (minat baca rendah). Ini merata dari sekolah dasar hingga perguruan tinggi. Pengetahuan dipungut begitu saja dari postingan yang tak terolah. Miskin data-fakta dan konteks.
Kedua, budi pekerti (satunya kata dan perbuatan) telah lama dihilangkan sehingga adab, sopan santun, tak menjadi dasar edukasi anak-didik. Dan ketika, fanatisme berlebihan menjauhkan sikap “adil’’ dalam menilai. Padahal adil lebih dekat pada akhlak mulia.
Cerdas bermedia sosial intinya adalah bagaimana kita menolak hoaks, fake news, dan hate speech.
Untuk itu, manfaatkanlah media sosial untuk bergandengan tangan menjalin kerjasama membangun bangsa. Bukan sebagai instrument untuk bertikai, saling menjelek-jelekkan, dan menyebar fitnah.
Analisalah baik-baik pesan dan berita yang mengandung nuansa perpecahan dan adu domba, karena begitu banyaknya bertaburan hoaks, fake news, dan hate speech di internet yang bertujuan merusak sendi-sendi kehidupan berbangsa, bermasyarakat, dan bernegara.
Ajarilah atau ingatkan teman, sahabat, keluarga, komunitas, dan masyarakat sekitar agar mampu memilah dan memilih pesan maupun berita yang ada di dunia maya, melalui bebagai pendekatan edukasi dan sosialisasi yang berbasis suara hati.
