Media Mainstream “Dikerangkeng” Rezim (?)

Oleh : Yurnaldi

Wartawan Utama, Ketua Bidang Edukasi, Sosialisasi, dan Advokasi Komisi Informasi Provinsi Sumatera Barat (2014-2018) , dan Penulis Buku “Kritik Presiden dan Jurnalisme Hoax” (2018)

 

Februari 2022 lalu Hari Pers Nasional (HPN) sudah diperingati dengan sukacita. Saatnya kita, wartawan/praktisi pers dan pemilik media arus utama (mainstream) melakukan introspeksi dan merefleksikan diri, apa yang sudah dan akan kita perbuat untuk pembaca, untuk kepentingan publik.

Pertanyaan mendasar yang patut dan pantas kita ajukan adalah, apakah media mainstream yang kita gembar-gemborkan sebagai media independen itu masih ada? Atau sebaliknya, karena suatu alasan, pemerintah (rezim) mengerangkeng keberadaannya, sehingga akibat ikutannya adalah media kehilangan pembaca dan akhirnya seperti ungkapan bagai kerakap tumbuh di batu, hidup segan mati tak mau. Dan faktanya, banyak juga media mainstream yang mati dan tak siap pula beralih ke media digital/daring.

Fakta yang saya dapatkan antara lain, ketika media mainstream (suratkabar,televisi, dan radio) melakukan kritik kepada pemerintah/rezim, para pimpinan media dikumpulkan dan “diceramahi” dan ada sejumlah catatan (tekanan). Ada juga yang langganan diputus atau “dana bantuan atas nama subsidi atau kerjasama” ditiadakan. Bagi yang menerima dana kerjasama, maka diharuskan memublikasikan siaran pers yang sehari bisa dua-tiga. Saat ini jumpa pers dan/atau membawa wartawan kunjungan lapangan sudah jarang dilakukan pemerintah. Pemerintah hanya menyiapkan siaran pers yang harus dimuat beserta foto kegiatan pejabat, baik pejabat provinsi maupun pejabat di kabupaten dan kota. Sehingga, bukan rahasia lagi media mainstream penuh dengan informasi agenda pejabat setiap harinya.

Mungkin tidak semua media mainstream begitu, tapi pada umumnya seperti itu dan hampir di semua daerah. Pembaca yang cerdas menilai, pola semacam ini adalah bentuk meniadakan kepentingan pembaca/publik. Pemerintah sudah mengerangkeng media dan jangan keluar dari kepentingan pemerintah. Informasi yang ada hanya searah. Kritik dan harapan-harapan berbagai elemen masyarakat “dibungkam” dengan cara tak diberi tempat. Kadang pemerintah memuji kinerjanya dengan cara  memasang pariwara di beberapa media. Ini juga salah satu alasan pembaca mengurangi berlangganan, sebab isi/substansi media cenderung seragam dan sama persis, baik redaksional (judul dan isi) juga foto-foto.

Dari sebagian fakta yang saya beberkan di atas, maka saya mencermati bahwa media mainstream tidak lagi menyuarakan suara publik dalam mengontrol pemerintah/rezim. Karena fungsi media sebagai pembentuk opini, maka bukan rahasia umum lagi media mainstream ditumpangi oleh beberapa kepentingan bisnis dan politik. Media tidak lagi digunakan untuk kepentingan publik, melainkan digunakan pebisnis untuk menyukseskan agenda politiknya.

Kesan dan kesimpilan pembaca/pemirsa/pendengar adalah bahwa media mainstream tidak lagi netral dan kurang memihak pada kepentingan publik. Hal ini mengibaratkan media seperti rezim otoriter dan tiran yang cenderung kurang berpihak pada kepentingan publik. Media seharusnya menjadi wadah untuk kreativitas karya. Namun, penyimpangan terjadi pada media yang berpacu pada persaingan bisnis antarindustri media sehingga banyak terjadi duplikasi karya yang secara isi sama, namun berbeda pengemasannya.

Demokrasi yang seharusnya terbentuk dengan netralnya media menjadi hilang dari genggaman publik karena adanya kepentingan terselubung dari pemilik yang memiliki aganda politik dan persaingan bisnis antarmedia.

 

Hoaks sebagai Perlawanan

Sebenarnya peran media mainstream yang sesungguhnya dan insan pers  masih dibutuhkan masyarakat dan pemerintah untuk memerangi ujaran kebencian dan hoaks yang disampaikan oleh media sosial. Masyarakat masih butuh informasi yang benar sesuai data, fakta, dan terverifikasi yang disajikan media mainstream/media arus utama/media konvensional di Indonesia. Akan tetapi, harapan masyarakat itu dewasa ini, hanya tinggal harapan, karena media mainstream sudah merasa nyaman dalam genggaman atau kendali pemerintah/rezim.

Tidak banyak yang menyadari, di balik banjirnya informasi/berita palsu/berita bohong/hoaks di media sosial sejak satu dasawarsa terakhir, itu sebenarnya bentuk perlawanan terhadap kinerja media mainstream. Bayangkan, ketika publik berharap media mainstream menjadi garda terdepan sebagai sumber informasi yang valid, menjaga persatuan, dan kesatuan bangsa, serta membangkitkan semangat optimisme, ternyata hal itu jauh panggang dari api. Berita bohong sudah menjadi persoalan yang membuat kredibilitas media serta dunia jurnalistik terpuruk.

Apa boleh buat, perselingkuhan antara media mainstream dan politik praktis tak terhindarkan lagi. Tanda-tanda senjakala media arus utama sudah di depan mata. Jangan heran, belakangan begitu banyak wartawan yang mengundurkan diri atau memilih pensiun dini. Yang masih berharap dengan media mainstream, tiba-tiba kaget menerima kenyataan harus di-PHK.

Untuk media mainstream yang sampai sekarang masih bertahan, sebaiknya kembali ke fungsi pers yang sebenarnya. Lakukan inovasi dan kreativitas di tengah pertumbuhan media daring yang sedemikian gencar. Di era lompatan kemajuan teknologi dan di tengah melimpahnya informasi dan mis-informasi, keberadaan media mainstream makin dibutuhkan. Ia diperlukan untuk membangun narasi kebudayaan dan peradaban baru. Termasuk juga memotret masyarakat yang bergerak efisien dan cepat, yang dilahirkan revolusi industri keempat yang berbasis digitalisasi dan kemampuan analisis data.

Media mainstream sebaiknya masuk ke dalam isu-isu substantif lain bagi khalayak. Mengambil kembali posisi sebagai agen demokrasi yang menjernihkan isu, bukan disinformasi yang mengeruhkan isu. Media massa ideal seharusnya selalu berada di pihak jurnalisme yang baik dengan informasi yang mencerahkan, bermakna, optimisme, membangkitkan harapan bagi masyarakat. Dengan cara demikian, ia bisa menjadi jembatan berbagai pandangan berbeda di tengah-tengah masyarakatnya.

Kepada kawan-kawan wartawan di media mainstream, terutama media cetak, diharapkan cukup selektif mengutip berita dari media sosial (media daring) seperti Twitter dan Instagram. Pengambilan berita dari media sosial seringkali mudah disalahpahami pembaca. Kesalahan pembaca itu melahirkan hoaks. Gempuran media sosial yang lebih cepat menyajikan berita daripada harian berita cetak mendorong masyarakat mendapatkan insformasi instan. Masyarakat seringkali kalap dan tidak jernih membaca informasi. Akhirnya, muncullah jejaring hoaks yang menyesatkan. Bahkan, sebagian besar hoaks mengarah pada pelumpuhan nalar sehat.

Jajak pendapat Kompas tahun 2017 lalu menyebutkan, mayoritas responden (85 persen) berpendapat, pemberitaan hoaks yang banyak beredar di media sosial telah sampai pada taraf yang meresahkan atau bahkan sangat meresahkan.

Di tengah maraknya media sosial, pers maisntream dituntut untuk menjelaskan duduknya perkara dan mengangkat fakta yang selama ini tak terungkap. Peran pers sebagai penyuara orang yang tak bisa bersuara justru menjadi kebutuhan saat ini. Jurnalisme hadir adalah untuk melayani kepentingan masyarakat, bukan kepentingan yang lain, termasuk kepentingan rezim. Ini harus disadari. Kekuatan sebagai mengonfirmasi fakta ini menjadi nilai tawar media massa mainstream. Disiplin verifikasi dan akurasi adalah prinsip jurnalistik yang menjadikan media massa tetap kredibel dan dipilih publik.

Strategi media massa mainstream dalam mempertahankan diri di era digital adalah kembali pada esensi jurnalisme yang bermartabat dan mencerahkan masyarakat.

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Pos Terkait

Yurnaldi – Jurnalis yang Langganan Juara Menulis

YURNALDI pada mulanya adalah penulis dan baru kemudian jadi wartawan. Sebagai  wartawan profesional dengan kompetensi wartawan utama (No ID 3823), Yurnaldi adalah Lulusan terbaik UKW

Hermawan – Berkarya hingga ke Negeri Tetangga

Hermawan, akrab dipanggil An, lahir di Jakarta 14 Desember 1961. Berlatar belakang pendidikan S1 Sastra Indonesia Universitas Bung Hatta 1986 dengan skripsi “Memahami Adam Ma’rifat

Berselimut Kekeliruan Bahasa

Oleh : Firdaus Abi Ketika memulai menjadi wartawan dulu, tahun 1992, saya sering dapatkan kalimat ini; media perusak bahasa. Darah muda dari wartawan muda saya