Dyima Guszita, Kisah Siswa Meraih Prestasi di Tanah Rantau, Juara I Lomba Menulis Surat Siswa Sumbar

Satupenasumbar.id – Dyima Guszita siswa SMAN 2 Padang berhasil meraih juara satu Lomba Menulis Surat Bagi Guru dan Siswa se-Sumatera Barat kategori siswa. Lomba Menulis Surat diselenggarakan DPD SatuPena Sumatera Barat yang difasilitasi Dinas Kearsipan dan Perpustakaan Sumbar melalui Pokir Anggota DPRD Sumbar Albert Hendra Lukman dan didukung Dinas Pendidikan Sumbar. Presentasi dan pengumuman pemenang Kamis (21/8/2025) sore di lantai 4 Kantor Dinas Kearsipan dan Perpustakaan Sumbar Jalan Diponegoro Padang usai peserta mempresentasikan suratnya. Dyima meraih nilai 1.270.

Dyima di akun IG-nya menulis setiap perjalanan punya cerita. Cerita ini bermula dari sebuah pengumuman lomba menulis surat yang sederhana,  diunggah @disdiksumbar_official pada akhir Mei 2025. Malam itu juga aku mulai menulis, menuangkan perasaan yang sudah lama ingin kuceritakan, tentang guru yang bagiku lebih dari sekadar pengajar.

Aku beri judul suratku, “Bu Awik, rumah Hangat di Rantau”. Surat itu kemudian dikirim lalu perjalanan panjang dimulai. Seleksi awal, masuk nominasi 50 besar, undangan presentasi akhir, hingga tibalah hari itu pada 21 Agustus 2025. Hari  di mana semua penantian diuji, semua perjuangan dipertaruhkan.

Akhirnya, Allah, Tuhan Maha baik mengizinkan aku berdiri di panggung, membawa pulang gelar itu. “Juara 1 Kategori Siswa – Lomba Menulis Surat bagi Guru dan Siswa se-Sumatera Barat.”

Bagiku, ini bukan hanya tentang kemenangan lomba. Ini tentang bagaimana sebuah surat sederhana bisa jadi jembatan hati, bagaimana perhatian seorang guru bisa mengubah  arah langkah muridnya, tentang bagaimana rasa rindu di rantau bisa terobati lewat kasih sayang yang tulus.

Terima kasih Bu Awik @awikfananda dan segenap guru-guru yang namanya Dyima sematkan dalam surat ini, terima kasih telah menjadi rumah hangat di rantau. Terima kasih untuk semua doa serta dukungannya, ini bukan hanya milikku, tapi milik semua guru yang mencurahkan cinta, dan semua murid yang sedang berjuang mengejar mimpinya. Karena terkadang, satu surat kecil bisa melahirkan seribu makna.

Dyima memulai suratnya dengan menyapa, Bu Awik, “Rumah Hangat yang Kutemukan di Tanah Rantau”, sekaligus judul suratnya.

Bu Awik, izinkan Dyima menyampaikan satu kalimat dari lubuk hati terdalam, “Terima kasih telah menjadi rumah di kota yang belum sempat kusebut rumah.” Sulit sekali memulai surat ini tanpa air mata. Karena setiap kata yang Dyima tulis seperti membuka kembali kenangan, menyentuh bagian-bagian hati Dyima yang selama ini Dyima jaga erat-erat. Tapi surat ini perlu ditulis. Sebagai bentuk cinta, sebagai tanda terima kasih, sebagai rekaman dari sebuah perjalanan yang tak akan pernah Dyima lupakan.

Bu Awik, rasanya baru kemarin Dyima menapakkan kaki di Padang, meninggalkan Lunang Kabupaten Pesisir Selatan (234,5 km dari Padang-red)  dengan penuh harap dan cemas. Sebagai anak yang lahir di tanah Minang, Dyima diajarkan  menjunjung tinggi adat dan nilai-nilai serta norma, tapi belum pernah rasanya Dyima benar-benar tahu seperti apa rasanya hidup jauh dari pelukan Mama. Hari pertama sekolah itu tiba, dan Dyima resmi menyandang gelar “anak rantau”. Jujur saja Bu, ada ketakutan besar yang Dyima sembunyikan di balik senyum.

Dyima ingat betul, saat pertama kali menjejakkan kaki di SMA Negeri 2 Padang. Anak rantau dari Lunang, dengan semangat meraih mimpi tapi juga dibalut rasa takut dan canggung, Dyima berusaha terlihat kuat agar orang-orang mau berteman dengan Dyima. Dalam hati, Dyima sangat ingin pulang,  ke pelukan mama,  merasa aman lagi Bu.

Namun, Tuhan mengirimkan banyak pelipur. Salah satunya adalah Bu Awik. Sosok yang kemudian Dyima kenal bukan hanya sebagai guru Ekonomi, tapi juga sebagai pelindung, pembimbing, dan tempat bercerita. Saat Ibu menerima Dyima dalam SMANDOECREATIVE, bukan hanya sebuah ekstrakurikuler yang terbuka, tetapi rumah baru yang Bu Awik tawarkan kepada Dyima. Ruang tempat Dyima tak merasa sendiri,   mulai percaya diri, mulai berani, dan mulai menemukan versi Dyima yang lebih kuat dari sebelumnya.

Menemukan tempat untuk bercerita, belajar, dan tumbuh. Sosok Ibu sebagai pembimbing, pendengar, bahkan pelindung. Bukan hanya guru ekonomi, tapi juga malaikat tak bersayap yang hadir dalam banyak fase penting hidup Dyima.

Bu Awik, masih ingat saat pembagian rapor pertama Dyima? Waktu itu, Dyima menangis dalam hati karena merasa sendiri. Tapi Ibu datang menggantikan peran mama. Ibu duduk di kursi wali murid dengan wajah penuh perhatian. Dyima ingin memeluk Ibu saat itu, tapi Dyima hanya bisa menahan haru dan berdoa dalam hati, “Ya Allah, terima kasih telah menghadirkan Ibu dalam hidup saya.”

Tidak semua guru rela mengambil rapor siswa yang bukan anak kandungnya. Tidak semua guru mau repot-repot membantu urusan administrasi yang bukan tanggung jawabnya. Tidak semua guru menyediakan bahunya untuk menjadi sandaran anak rantau yang sedang belajar tumbuh. Tapi Ibu melakukan semua itu untuk Dyima. Tanpa pamrih. Tanpa pernah mengeluh. Bahkan, kadang Ibu lebih sigap dari orang tua Dyima sendiri. Saat surat izin harus ditandatangani, Ibu selalu hadir. Saat Dyima harus menyiapkan berkas lomba, Ibu lebih dulu bertanya daripada Dyima sempat meminta tolong. Bentuk perhatian Ibu itu melekat seperti pelukan hangat yang tak pernah putus.

Bukan hanya itu, saat Dyima harus mengurus administrasi sekolah yang rumit bagi anak rantau, Ibu selalu siap membantu. Tak pernah mengeluh, tak pernah menolak. Ibu memperjuangkan Dyima lebih dari yang pernah Dyima bayangkan. Bahkan saat Dyima merasa lelah ikut perlombaan atau kegiatan sekolah, Ibu tetap menjadi orang pertama yang percaya dan mendorong Dyima untuk terus bergerak maju.

Puncaknya,  ketika Dyima terpilih  finalis Duta Genre Kota Padang tahun 2024. Malam Grand Final itu, Dyima hanya berharap mama datang dari Lunang. Tapi ternyata, bukan hanya mama yang datang. Dyima melihat Ibu, berdiri di bangku penonton dengan wajah bangga. Dyima lihat juga sosok Kakak/Abang smandoecreative, Bu Gita, Bu Adma, Bu Yola, Bunda Amy yang penuh semangat dan bahkan Bapak Kepala Sekolah yang hadir mendukung.

Mereka semua hadir, membentuk lingkaran kekuatan yang membuat Dyima berdiri dengan lebih tegak di atas panggung itu. Dyima merasa dicintai, merasa punya keluarga di sini. Keluarga itu, dimulai dari tangan Ibu yang pertama kali menggenggam tangan Dyima saat Dyima masih asing di Kota Padang ini.

Saat  terpilih mengikuti Parlemen Pelajar 2025 di Jakarta, Dyima kembali terharu. Ibu dan guru-guru lainnya tidak hanya mendukung secara moral, tapi juga berjuang untuk membantu biaya akomodasi Dyima. Mereka mengupayakan segala cara agar Dyima bisa berangkat, agar mimpi Dyima tidak kandas di tengah jalan. Dyima tahu, mereka melakukan itu karena cinta. Karena percaya bahwa Dyima bisa melangkah lebih jauh lagi.

Semua ini, tidak akan mungkin terjadi tanpa peran besar Bu Awik. Ibu adalah sosok yang mampu melihat potensi dalam diri Dyima, bahkan ketika Dyima sendiri belum percaya. Ibu adalah orang yang terus-menerus berkata, “Dyima bisa, Dyima hebat,” di saat Dyima ragu dan takut.

Dyima pernah merasa ingin menyerah. Dunia organisasi dan kompetisi tidak selalu indah. Ada kritik, ada tekanan, ada lelah yang tidak bisa selalu Dyima ungkapkan. Tapi dalam setiap fase itu, Ibu tetap hadir. Menyemangati dengan cara yang khas. Sederhana, lembut, tapi dalam dan menyentuh. Seperti pelukan yang tidak terlihat.

Dyima menulis surat ini bukan hanya untuk mengenang, tapi untuk menyatakan,  apa yang Ibu lakukan telah mengubah hidup Dyima. Menanam benih kepercayaan, merawatnya dengan kasih sayang, dan kini benih itu mulai tumbuh menjadi pohon mimpi yang rindang.

Bu Awik tahu Dyima ingin menjadi Duta Besar Republik Indonesia di masa depan. Dyima ingin mewakili negeri ini di forum-forum internasional, membawa semangat anak Minang
yang berani merantau dan mengabdi. Jika hari itu datang, Dyima akan ingat, bahwa langkah pertama Dyima dimulai dari tangan seorang guru yang bernama Widya Fanda.

Dyima belum pernah diajari secara teknis oleh Ibu terkait ekonomi. Tapi Ibu mengajarkan Dyima tentang ketulusan, dedikasi, dan arti menjadi manusia. Ibu mengajarkan Dyima bahwa prestasi bukan hanya soal piala dan piagam, tapi juga tentang keberanian mencintai apa yang kita lakukan,  ketekunan dalam menjalaninya.

Hari-hari di Padang tidak selalu mudah. Ada kalanya Dyima jatuh, ada kalanya merasa asing. Tapi tiap kali itu terjadi, selalu ingat Ibu. Itu menenangkan. Karena di balik semua tantangan, selalu ada tempat kembali. Senyum Ibu yang menguatkan, sapa Ibu di pagi hari, atau sekadar panggilan “Dyima, sudah makan?” yang membuat hati ini hangat.

Mimpi Dyima sederhana. Menjadi orang yang bermanfaat. Menjadi pribadi yang tidak lupa pada akar. Suatu hari nanti, saat Dyima mengenakan seragam diplomatik dan berdiri sebagai Duta Besar Republik Indonesia, Dyima bisa membawa secuil kenangan tentang Padang, tentang SMA Negeri 2, dan tentang seorang guru ekonomi yang tak pernah lelah mencintai muridnya.

Dyima menulis ini dalam keheningan malam, ketika postingan dari akun Instagram @disdiksumbar_official lewat di beranda Dyima, ketika suasana begitu tenang dan Dyima bisa benar-benar merasakan kehadiran Ibu dalam ingatan Dyima. Mata Dyima berkaca-kaca, bukan karena sedih, tapi karena penuh rasa syukur.

Surat ini barangkali tak bisa mewakili seluruh rasa terima kasih Dyima. Tapi setidaknya, biarlah tinta ini mencatat jejak kasih Ibu yang tak akan pernah lekang. Karena bagi Dyima, Ibu bukan hanya guru, tapi juga rumah.

Dyima tahu, tidak semua orang punya guru seperti Ibu. Tidak semua anak rantau bisa merasa senyaman Dyima di tempat yang jauh dari rumah. Tapi Dyima termasuk yang beruntung,  keberuntungan itu bernama Bu Awik.

Dyima yakin, setiap hal baik yang Ibu lakukan akan berbuah manis. Doa kami, para murid Ibu, akan selalu menyertai. Di setiap langkah Ibu, akan ada cinta dari anak-anak yang pernah Ibu bimbing.

Jika suatu hari nanti, Dyima berhasil meraih cita-cita, salah satu alasan terbesar bisa sampai di sana adalah karena Ibu.   Dyima bisa membanggakan Lunang, Padang, Indonesia, dan tentu saja, Bu Awik.  Demikian Dyima mengakhiri suratnya. Semoga kelak, cita-cita Dyima tercapai.***

 

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Pos Terkait

Yurnaldi – Jurnalis yang Langganan Juara Menulis

YURNALDI pada mulanya adalah penulis dan baru kemudian jadi wartawan. Sebagai  wartawan profesional dengan kompetensi wartawan utama (No ID 3823), Yurnaldi adalah Lulusan terbaik UKW

Hermawan – Berkarya hingga ke Negeri Tetangga

Hermawan, akrab dipanggil An, lahir di Jakarta 14 Desember 1961. Berlatar belakang pendidikan S1 Sastra Indonesia Universitas Bung Hatta 1986 dengan skripsi “Memahami Adam Ma’rifat

Berselimut Kekeliruan Bahasa

Oleh : Firdaus Abi Ketika memulai menjadi wartawan dulu, tahun 1992, saya sering dapatkan kalimat ini; media perusak bahasa. Darah muda dari wartawan muda saya