Satupenasumbar.id – Dalam suasana dunia yang terus berubah dan sering kali terpecah oleh berbagai perbedaan, puisi tetap hadir sebagai ruang sunyi yang menautkan rasa dan makna. Hal inilah yang menjadi inti diskusi buku bertajuk “Sakti”: Kumpulan Puisi Tiga Bahasa Karya Sastri Bakry — sebuah kegiatan literasi dan sastra yang tidak hanya mengulas karya, namun juga membangun pemahaman dan penghargaan terhadap keberagaman budaya dan bahasa.
Diskusi buku diselenggarakan secara daring Jumat (1/8/2025), menjadi momen bermakna bagi dunia sastra, khususnya di Sumatera Barat, Indonesia. Buku puisi Sakti ditulis Sastri Bakry, seorang penyair perempuan Indonesia, yang dituangkan dalam tiga bahasa: Indonesia, Inggris, dan Spanyol. Lebih 40 peserta dari berbagai penjuru tanah air turut hadir, bersama sejumlah pembicara dari Indonesia, Puerto Rico, Bangladesh, dan Australia.
Melalui kegiatan ini, buku Sakti diposisikan sebagai jembatan yang mempertemukan suara-suara dari latar belakang berbeda dalam satu ruang diskusi yang inklusif dan saling menghargai. Puisi-puisi di dalamnya menjadi titik temu, menghadirkan dialog yang lembut namun mendalam antara budaya dan bahasa, sekaligus menegaskan bahwa sastra mampu menjadi penghubung di tengah keragaman dunia.
Acara yang digagas DPD SatuPena Sumatera Barat bersama International Minangkabau Literacy Festival (IMLF) dan World Poetry Movement (WPM) ini menghadirkan pembicara empat orang Luz María López, penyair sekaligus penerjemah asal Puerto Rico; Aminur Rahman, penyair dan konsultan sastra dari Bangladesh; Profesor Ismet Fanany, akademisi dan penerjemah, budayawan kelahiran Indonesia berdomisili di Australia; serta Zamawi Imron, penyair senior Indonesia yang sudah tak asing lagi. Moderator yang hangat dan profesional oleh Siska Saputri, sekretaris World Poetry Movement-Indoensia, alumni Departemen Bahasa dan Sastra Inggris, Fakultas Bahasa dan Seni, Universitas Negeri Padang, yang berhasil membangun ruang diskusi penuh makna dan nuansa kemanusiaan.
Dalam acara ini hadir juga penyair India Madhumita Raja (ikut baca puisi), dari Brunei, Vietnam dan Indonesia tentunya. Juga hadir Sekretaris SatuPena Sumbar, Armaidi Tanjung, pecinta puisi, pensiunan akademisi dan seniman Sumbar Mindasari, Anggota DPD RI Fahira Idris, dan sejumlah delegasi dari Satu Pena, World Poetry Movement-Indonesia, Fadel dan Fildzah dari Pondok Puisi Inspirasi Pemikiran Masyarakat (PPIM-Indonesia) dan Poetry-Pen International Community, penyair Australia asal vietnam, Maiwhite (Vo Thi Nhur Mai). Ia juga merupakan jurnalis disamping sebagai seorang guru di Western Australia. Para peserta diskusi pada umumnya merupakan penulis, penyair dan pecinta puisi yang berasal dari berbagai latar belakang pengalaman, kegiatan dan prestasi.
Dalam sesi diskusi, Luz María López memukau peserta dengan analisis mendalamnya tentang simbolisme puisi Sastri. Ia melihat bagaimana bunga, luka, dan ambang pintu dalam karya Sastri membawa pesan universal tentang ingatan dan kasih ibu yang melintasi sejarah dan budaya. Aminur Rahman mengaitkan karya Sastri dengan tradisi sastra besar dunia dan menegaskan bahwa puisi-puisi itu bukan sekadar untuk mengagumkan, melainkan jujur mengungkapkan kekuatan batin dan perjuangan wanita.
Refleksi Profesor Ismet Fanany menambah warna dengan membahas tema hubungan ibu-anak yang kompleks dan penuh kasih, meski terkadang ditampilkan lewat ketegasan dan disiplin. Ia menyarankan agar tema-tema universal semacam ini bisa menjadi bahan studi komparatif lintas budaya dalam dunia sastra global, dan memuji “Sakti” sebagai kontribusi penting dalam wacana tersebut.
Leni Marlina, penulis L-BEAUMANITY (Love, Beauty and Humanity), penyair Indonesia asal Sumbar, dosen Prodi Sastra Inggris FBS Universitas Negeri Padang, yang menyatakan betapa puisi memiliki kekuatan menghubungkan jiwa tanpa batas ruang dan waktu. Menurutnya, fenomena ini adalah keajaiban seni yang sejati. Leni juga menyoroti simbol tikar pandan di buku “Sakti”, motif khas Minangkabau, yang sarat makna dan dapat diterima secara luas sebagai simbol keramahtamahan dan memori kolektif. Ia sangat menikmati diskusi buku yang disampaikan pembicara terutama saat Prof. Ismet Fanany mempresentasikan tentang Cross-cultural Comparison in Poetry Book of Sakti by Sastri Bakry.
“Diskusi Sakti membuka mata kita bahwa puisi adalah jembatan yang menghubungkan manusia di seluruh dunia, mengatasi batas bahasa dan budaya. Melalui karya Sastri Bakry, kita diingatkan bahwa cinta, penderitaan, dan identitas adalah pengalaman universal yang menyatukan kita semua. Di tengah dunia yang terkadang terpecah, Sakti dan perbincangan ini mengajak kita kembali pada satu kebenaran: sastra dan seni mampu membangun solidaritas, memperdalam empati, dan merayakan keberagaman sebagai kekuatan,” kata Leni Marlina.
Menurut Leni Marlina Diskusi buku Sakti membuktikan bahwa puisi bukan hanya seni yang indah, tetapi juga alat penyembuh, pengingat, dan penghubung. Ia membawa pesan bahwa di tengah konflik global, disrupsi teknologi, dan krisis identitas, kita masih memiliki ruang untuk saling memahami melalui bait-bait kata. Dalam dunia yang semakin terdigitalisasi dan terfragmentasi, Sakti hadir sebagai penanda penting: bahwa puisi tidak pernah kehilangan relevansinya. Ia tetap menjadi bahasa hati, pelita jiwa, dan fondasi untuk membangun solidaritas antar manusia.
Sekilas Tentang Penulis Buku Kumpulan Puisi Sakti: Sastri Bakry
Lahir di Pariaman, Sumatera Barat, pada 20 Juni 1958, Sastri Bakry adalah sosok yang menggabungkan seni, aktivisme, dan birokrasi dalam perjalanan hidupnya. Sejak masa sekolah menengah, ia sudah aktif menulis dan menerbitkan karya di media lokal seperti Haluan dan Singgalang. Selama puluhan tahun, ia melahirkan berbagai buku penting, termasuk Perempuan dalam Perempuan, Ungu Pernikahan, dan novel laris Kekuatan Cinta yang bahkan diadaptasi ke layar lebar.
Karya Sastri tak hanya dikenal luas di Indonesia, tetapi juga mendapat pengakuan internasional dengan terjemahan ke berbagai bahasa seperti Inggris, Rusia, Arab, dan Tionghoa. Beberapa puisinya bahkan diaransemen menjadi musik dan memenangkan penghargaan nasional. Ia juga pernah aktif di pemerintahan sebagai Sekretaris DPRD Padang dan Inspektur Kementerian Dalam Negeri sebelum memasuki masa pensiun beberapa tahun lalu.
Sebagai Ketua SatuPena Sumbar dan CEO International Minangkabau Literacy Festival, Sastri berhasil membawa sastra Minangkabau ke panggung dunia. Festival yang didirikannya sejak 2023 telah menjadi pertemuan internasional yang mempertemukan lebih dari 20 negara dalam merayakan kekayaan budaya dan sastra Minangkabau melalui pembacaan puisi, diskusi budaya, dan peluncuran buku.
Prestasi internasional Sastri mencakup penghargaan bergengsi seperti Srikandi Tun Fatimah (Malaysia, 2007), Anugrah Tokoh Budaya Nusantara (Indonesia, 2023), dan ISISAR Peace Award (2025). Melalui karya dan perannya, ia mengusung misi literasi yang tidak hanya hak individu, tapi juga kekuatan budaya kolektif yang membentuk masa depan Indonesia dan dunia.
Puisi Sebagai Jembatan Empati dan Penguatan Identitas
Sastri Bakry sendiri hadir secara virtual dari wilayah Indonesia bagian barat. Ia menegaskan bahwa meski secara fisik berjauhan, para peserta dan para penikmat sastra serta pembicara di belahan dunia yang berbeda “terhubung dengan adanya kekuatan dan momentum sastra”. Pernyataan ini mengakhiri diskusi dengan rasa hangat dan optimisme akan kekuatan sastra sebagai pengikat antar manusia.
Sesi diskusi dipandu dengan penuh kehangatan oleh Siska Saputri yang tak hanya mengelola jalannya acara, tetapi juga memberi ruang bagi semua suara agar didengar. Siska menyampaikan apresiasi atas berbagai wawasan dan refleksi yang mengalir. Profesor Ismet Fanany memberikan komentar yang sarat makna, membahas betapa cinta seorang ibu yang kadang ditampilkan dalam bentuk tegas adalah ekspresi kasih sayang yang universal dan mendalam.
Peserta lain seperti Nanik Muis dan dari Sumbar Talenta turut mengisi suasana dengan apresiasi hangat, menjadikan acara ini bukan sekadar diskusi, melainkan sebuah perayaan kemanusiaan dan solidaritas budaya. Para peserta lainnya yang terdiri dari penulis, penyair, akademis, pemerhati budaya, jurnalis, menyimak dan mengikuti acara diskusi buku Sakti dengan antusias sampai akhir acara.
Diskusi buku puisi ini menegaskan bahwa sastra bukan hanya soal kata-kata indah, tetapi alat yang menghubungkan hati dan pikiran lintas budaya. Sakti membawa pesan bahwa pengalaman hidup manusia, terlepas dari perbedaan budaya dan bahasa, adalah satu—penuh cinta, perjuangan, dan harapan. ***



