Oleh: Yulia Fitrina (BRIN) (Anggota Satupena Sumbar)
Perdebatan tentang fakultas sastra yang “mengkebiri” produktifitas bersastra menjadi semacam polemik hangat yang sering diperbincangkan di antara para pegiat maupun pengamat sastra. Isu hangat ini kemudian diangkat dalam sebuah diskusi yang diadakan oleh Satu Pena Sumatera Barat bekerjasama dengan Yayasan Sumbar Talenta pada webinar yang berjudul “Fakultas Sastra dan Produksi Sastra yang Terus Tergerus di Sumatera Barat”. Beberapa akademikus, praktisi, tokoh, dan pengamat sastra ikut ambil bagian memberikan sumbangsih pemikiran berkaitan dengan tema webinar tersebut yang merupakan salah satu rangkaian praacara menjelang “Alek Gadang” Internasional Minangkabau Literasi Festival (IMLF) yang sedianya akan berpusat di Baso, Kabupaten Agam pada 22-27 Februari 2023.
Menyasar berbagai topik yang disampaikan oleh narasumber, ada beberapa poin penting yang diusung dalam topik diskusi tersebut berkaitan dengan peran maksimal kampus dalam proses produksi karya sastra, di antaranya adalah menjadikan menulis kreatif sebagai mata kuliah wajib, menyelenggarakan sastra sayembara sebagai ajang berkreasi bagi mahasiswa, memberikan pendampingan pada mahasiswa potensial untuk merambah dunia produksi sastra, menyediakan tenaga ahli yang berasal dari kampus yang akan menjadi pihak yang berkompeten memberikan timbang saran dalam soal kualitas karya sastra di masyarakat, serta pendokumentasian hasil kritik atau telaah karya sastra yang bermutu sehingga dapat menjadi semacam panduan atau rujukan berkarya bagi penulis-penulis pemula.
Dari sekian banyak masukan dan timbang saran, ada beberapa hal yang belum tereksplorasi dalam diskusi tersebut, yakni tentang peran komunitas satra dalam membentuk calon sastrawan yang produktif berkarya. Kehadiran komunitas sastra yang ada di dalam maupun di luar kampus adalah salah satu elemen penting yang harus digandeng oleh pihak kampus dalam mengoptimalkan kemampuan calon sastrawan muda potensial yang ada di kampus. Banyak komunitas-komunitas sastra hanya digerakkan oleh para anggota tanpa adanya perhatian khusus dari pihak terkait dan pendanaan kegiatan komunitas yang tidak pasti. Walhasil, komunitas itu seperti karakok hiduik di batu, hidup segan mati tak mau. Beberapa tahun yang lalu pada saat masih bergabung dengan Balai Bahasa provinsi Sumatera Barat, penulis pernah melakukan penelitian tentang komunitas sastra di Sumatera Barat. Beberapa komunitas itu ada yang bertahan sampai sekarang, tetapi ada juga yang sudah mati. Perlu dirancang berbagai upaya dalam menjadikan komunitas ini tetap bertahan dan berperan dalam meningkatkan kreativitas menulis para sastrawan muda yang mencari pengayaan di luar kehidupan kampus mereka.
Pada dekade terakhir, lewat temuan-temuan tentang nilai PISA kita yang rendah, mulai mencambuk berbagai pihak baik pemerintah atau pemerhati literasi untuk kemudian melakukan suatu revolusi dalam dunia perliterasian di Sumatera Barat khususnya dan di Indonesia pada umumnya. Berbagai usaha sosialisasi dan adaptasi dilakukan dalam upaya meningkatkan literasi di sekolah-sekolah atau pun di masyarakat. Produksi buku merupakan salah satu kriteria dalam penilaian internasional tentang indeks berliterasi dalam sebuah negara. Pemerintah pun mulai menggiatkan literasi di berbagai lini sebagai upaya mendongkrak kecerdasan literasi siswa yang secara penilaian PISA anjlok dinomor buncit tersebut. Pemeritah mulai memberikan perhatian khusus terhadap berbagai komunitas membaca atau menulis dalam bentuk subsidi pada rumah-rumah baca. Komunitas-komunitas penulisan ini terus menguatkan literasi melalui berbagai karya bersama baik cerpen, puisi, opini dan lain sebagainya. Beberapa komunitas kepenulisan saat ini gencar memotivasi para anggota untuk terus menulis dengan memberikan apresiasi khusus bagi para anggota yang membuat tulisan yang baik dan bermutu, seperti Satu Pena dan Sabi Sabu.
Ada beberapa catatan penting yang dapat dijadikan bahan pemikiran kita bersama bahwa kemunculnya karya sastra kepermukaan dan menjadi best seller atau trendsetter tidak terjadi secara tiba-tiba. Berbagai komponen terlibat dan memainkan fungsi yang signifikan, diantaranya pemerintah, industri seni/penerbit/media, dan masyarakat. Ketiga stake holder ini menentukan apakah sebuah karya sastra yang fenomenal akan kemudian bisa diapresiasi publik dengan baik atau tidak. Peran pemerintah sebagai akselerator bagi produk sastra adalah dengan memberikan kontribusi berupa peraturan perundang-undangan yang dapat memberi ruang gerak bagi produksi sastra ini melalui kebijakan-kebijakan yang mengikat semua pihak. Selain itu, perhatian pemerintah terhadap kualitas hidup sastrawan perlu ditingkatkan, di antaranya dengan pemberian apresiasi berupa subsidi khusus bagi mereka yang aktif berproduksi, baik berbentuk tunjangan atau insentif honorarium. Peran media dalam hal ini adalah berperan aktif dalam mempromosikan atau mempermudah akses penulis dalam melahirkan atau memproduksi karya sastra, di antaranya dengan memberi kesempatan bagi para penulis-penulis baru untuk diterbitkan, tentu tanpa menafikan kualitas dan isi karya sastra tersebut. Elemen ketiga yang tidak kalah pentingnya adalah kepedulian masyarakat dalam mengapresiasi produk-produk karya sastra. Tradisi membaca karya sastra dalam keluarga, menyisihkan budget khusus untuk membeli karya sastra bisa menjadi salah satu cara meningkatkan apresiasi sastra dalam masyarakat. Subsidi silang yang sudah dilakukan di beberapa komunitas kepenulisan patut untuk dicontoh. Para anggota komunitas membeli hasil karya teman mereka yang sudah diterbitkan, sehingga semangat menulis itu kemudian menjadi tumbuh dan tidak sirna. Selain itu, saling mengapresiai tulisan teman dalam forum-forum khusus akan lebih menyemangati para penulis untuk memproduksi karya sastra itu sendiri.
Simpulan yang bisa diambil dari diskusi ini adalah perlunya optimalisasi peran dan fungsi semua stake holder yang berkaitan dengan peningkatan produksi dan sekaligus mutu karya sastra, khususnya di Sumatera Barat, yang merupakan sebuah kolaborasi yang bersinergi antara berbagai elemen terkait seperti kampus, komunitas, pemerintah, industri seni/penerbit/media massa, dan masyarakat. Lemahnya satu elemen ini akan berpengaruh terhadap produksi sastra secara keseluruhan. Jadi tidak perlu mencari kambing hitam siapa yang salah terhadap ketergerusan produktifitas bersastra ini. Yang perlu dilakukan adalah berbenah diri mencari solusi agar setiap komponen ini menjadi kuat dalam peran dan fungsi masing-masing sehingga saling berkontribusi dalam melahirkan produk produk sastra yang mumpuni, “Basamo mangko manjadi”