Judul : Minangkabau Dalam Batin Penyair (Antologi Puisi Satupena Sumatera Barat)
Penulis : Abdullah Khusairi – Armaidi Tanjung – Gamawan Fauzi – Hasanuddin Datuk Tan Patih – Ramli Jafar – Saunir Saun – Sri Wirdani – Yurmanovita – Yurnaldi
Pengantar : Denny JA
Halaman : xx + 214
Penerbit : Pustaka Artaz
ISBN : 978-979-8833-64-9
Cetakan I : Desember 2022
Membaca puisi itu, di mata penyairnya, betapa Minangkabau sudah berubah. Betapa tanah yang dulu kuat dengan pepatah “adat bersandi syarak, syarak bersandi agama,” sudah tak lagi sama. Bagaimana adat kuat dijunjung jika “rumah gadangku sudah bolong?” Ditambah lagi “udara busuk masuk ke dalam?” Bagaimana agama kuat dipegang jika “bunuh membunuh makin biasa.” Dan “perbuatan asusila saban hari menghiasi media.”
Minangkabau sebagaimana wilayah lain dilanda modernisasi. Dalam modernisasi, tak hanya beton mengganti pohon. Tak hanya tiang listrik mengganti kerlap-kerlip kunang-kunang. Tak hanya mall dan pabrik menggusur rumah penduduk. Nilai hidup juga berubah. Nilai tradisi dari adat dan agama memudar. Sementara nilai kebajikan modern yang dibawa oleh hak asasi manusia, demokrasi, lingkungan hidup, belum kuat tertanam.
Publik luas hidup dalam kultur transisi. Tidak lagi tradisional, tapi belum sepenuhnya modern. Dalam masa transisi ini, terjadi pergeseran nilai yang belum ideal. Penyair menangkap sisi gelap era transisi itu.
-000-
Menengok Minangkabau, lebih jauh lagi, mempelajari Sumatera Barat, kita berkelana pada keindahan sejarah dunia literasi Indonesia. Sumatra Barat telah melahirkan begitu banyak penulis besar. Hamka lahir di sana, seorang penulis yang juga seorang ulama. Asrul Sani dan Muhammad Yamin juga lahir di sana. Mereka berdua tokoh yang mewarnai perjalanan sastra Indonesia.
Belum lagi penulis yang juga sekaligus negarawan Indonesia: Mohammad Hatta, Sutan Syahrir, Mohammad Natsir dan Tan Malaka. Mereka putra kandung Sumatra Barat yang bahkan mewarnai perjalanan negara Indonesia. Sejak lama, Sumatra Barat dikenal sebagai ibu kandung dunia literasi Indonesia. Tapi dimanakah ibu kandung itu kini?
Benarkah dunia literasi dan intelektual Sumatra Barat menurun? Mengapa dari Sumatra Barat tak lagi lahir pemimpin intelektual sekelas Muhammad Hatta, Sutan Syahrir dan Muhammad Natsir. Mengapa tak lagi terdengar sastrawan besar dari Sumatra Barat sekelas Hamka dan Asrul Sani?
Sumatra Barat telah berubah? Ia raksasa yang tengah tidur? Ataukah karena daerah lain kini lebih cepat maju? Para akademisi dan sejarahwan dapat merespon pertanyaan itu.
-000-
Buku yang menampilkan puisi dari sembilan penulis anggota Satupena Sumatera Barat (Abdullah Khusairi – Armaidi Tanjung – Gamawan Fauzi – Hasanuddin Datuk Tan Patih – Ramli Jafar – Saunir Saun – Sri Wirdani – Yurmanovita – Yurnaldi) ini diterbitkan oleh Perkumpulan Penulis Indonesia Satupena Sumatra Barat.
Di tangan Sastri Bakry dan sahabat lain, apalagi bersinerji dengan tokoh daerah seperti Gubernur Sumatra Barat, juga bapak Gamawan Fauzi, dan tokoh lain yang tak bisa saya sebutkan satu persatu, Satupena Sumatra Barat akan membangkitkan kembali provinsi ini sebagai ibu kandung para penulis besar. Satupena Sumatra Barat diharapkan ikut menghidupkan kota dan desa di sana sebagai kota dan desa literasi.
Buku ini menjadi salah satu anak tangga membangunkan kembali Minangkabau. Bagi kita, Minangkabau bukan “raksasa yang sedang tidur.” Tapi Minangkabau adalah raksasa yang istirahat sejenak saja untuk bangkit kembali. (*)