Hari Bela Negara, 19 Desember dan Peranan Hidayat Martaatmadja

Oleh: Dasman Djamaluddin

Tanggal 19 Desember telah ditetapkan oleh Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) sebagai Hari Bela Negara melalui Keppres No.28 tahun 2006

Buku Bela Negara , yang ditulis oleh TB Hasanuddin dan diterbitkan RMBOOKS, tahun 2014 ini, menarik dibaca menjelang bangsa Indonesia memperingati Hari Bela Negara tanggal 19 Desember 2022.

Memang tanggal 19 Desember telah ditetapkan oleh Presiden RI Susilo Bambang Yudoyono (SBY) sebagai Hari Bela Negara melalui Keppres No 28 tahun 2006.

Kembali ke buku Bela Negara setebal 130 halaman, kita dibawa ke arah pemikiran, cintailah negara Anda, apalagi negara ini lahir dari kekuatan rakyat yang ikhlas mengorbankan nyawanya untuk bangsa dan negara. Kekuatan rakyat inilah yang kemudian melebur dalam Tentara Nasional Republik Indonesia (TNI) di mana sebelumnya, namanya mengalami perubahan.

TNI lahir dalam kancah perjuangan bangsa Indonesia mempertahankan kemerdekaan dari ancaman Belanda yang berambisi untuk menjajah Indonesia kembali melalui kekerasan senjata.

TNI merupakan perkembangan organisasi yang berawal dari Badan Keamanan Rakyat (BKR). Selanjutnya pada tanggal 5 Oktober 1945 menjadi Tentara Keamanan Rakyat (TKR), dan untuk memperbaiki susunan yang sesuai dengan dasar militer international, dirubah menjadi Tentara Republik Indonesia (TRI).

Dalam perkembangan selanjutnya usaha pemerintah untuk menyempurnakan tentara kebangsaan terus berjalan, seraya bertempur dan berjuang untuk tegaknya kedaulatan dan kemerdekaan bangsa.

Untuk mempersatukan dua kekuatan bersenjata yaitu TRI sebagai tentara regular dan badan-badan perjuangan rakyat, maka pada tanggal 3 Juni 1947, Presiden Soekarno mengesahkan dengan resmi berdirinya Tentara Nasional Indonesia (TNI).

Pada saat-saat kritis selama Perang Kemerdekaan (1945-1949), TNI berhasil mewujudkan dirinya sebagai tentara rakyat, tentara revolusi, dan tentara nasional. Sebagai kekuatan yang baru lahir, di samping TNI menata dirinya, pada waktu yang bersamaan harus pula menghadapi berbagai tantangan, baik dari dalam maupun dari luar negeri.

Oleh karena itu kelahiran TNI tidak sama dengan angkatan bersenjata dari negara lain. Di Indonesia, kekuatan rakyatlah yang membentuk TNI.

Ada hal menarik di dalam buku Bela Negara ini, yaitu di halaman 119. Dikatakan bahwa wajib militer belum mendesak dan penting diterapkan dalam konteks Indonesia saat ini. Menurut saya dengan semakin panasnya situasi Timur Tengah, khususnya di wilayah Palestina, juga di Semenanjung Korea, hal ini perlu kita garisbawahi bahwa masalah bela negara ini sangat penting.

Misalnya wajib militer atau sering kali disingkat sebagai wamil adalah kewajiban bagi warga negara berusia muda terutama pria, biasanya antara 18 – 27 tahun untuk menyandang senjata dan menjadi anggota tentara dan mengikuti pendidikan militer guna meningkatkan ketangguhan dan kedisiplinan orang itu sendiri.

Wamil biasanya diadakan guna untuk meningkatkan kedisiplinan, ketangguhan, keberanian dan kemandirian seorang itu dan biasanya diadakan wajib untuk pria lelaki. Yang harus wamil biasanya adalah warga pria. Warga wanita biasanya tidak diharuskan wamil, tetapi ada juga negara yang mewajibkannya, seperti di Israel, Korea Utara dan Suriname. Mahasiswa juga biasanya tidak perlu ikut wamil. Beberapa negara juga memberi alternatif tugas nasional (Layanan alternatif) bagi warga yang tidak dapat masuk militer karena alasan tertentu seperti kesehatan, alasan politis, atau alasan budaya dan agama.

Pada masa kini, wamil tergolong kontroversial, karena adanya penolakan, terutama untuk melayani pemerintahan yang tidak disukai oleh beberapa pihak, perang yang tidak populer (contoh: Perang Vietnam), dan tergolong pelanggaran terhadap hak individual. Orang-orang yang masuk wamil dapat menghindarinya, terkadang dengan meninggalkan negaranya.

Adalah hal wajar, jika kita berbicara Bela Negara selalu dikaitkan dengan semangat para pejuang kita yang dimotori Syafruddin Prawiranegara di Sumatera Barat yang dahulu disebut Sumatera Tengah. Yang kita contoh semangat juangnya.

Pada waktu itu, di bulan November 1948, Menteri Kemakmuran RI, Syafruddin Prawiranegara sedang berada di Bukittinggi dalam rangka meninjau keadaan kemakmuran rakyat di Sumatera. Hal tidak terduga, siang hari tanggal 19 Desember 1948, Sumatera Barat, dahulu disebut Sumatera Tengah menjadi sedikit kacau.

Pesawat-pesawat tempur Belanda membom Sumatera Barat dan Yogyakarta. Inilah yang kemudian disebut Agresi Militer II Belanda dan tanggal ini ditetapkan sebagai Hari Bela Negara.

Presiden Soekarno memahami hal ini. Ia tidak mau diajak Panglima Besar Jenderal Soedirman ikut berjuang masuk hutan. Ketika Jenderal Soedirman menemui Presiden Soekarno di Yogyakarta, Bung Karno berpesan kepada Jenderal Soedirman agar yang dilakukan melawan Belanda adalah dengan perang gerilya. Jika melakukan perang berhadap-hadapan, tentara kita tidak akan sanggup melawan Belanda dengan persenjataannya yang modern saat itu.

Bung Karno menegaskan akan tetap di Yogyakarta dan membiarkan dirinya ditahan Belanda, agar bisa diajak berunding ke meja perundingan.Taktik dan strategi Bung Karno ini berhasil. Akhirnya Belanda mengajak berunding.

Kembali ke Sumatera Barat. Rombongan Menteri Kemakmuran RI tertahan di Padang dan sulit kembali ke Yogyakarta. Belanda sudah melakukan serangan di Bukittinggi. Syafruddin Prawiranegara dan rombongan, juga Gubernur Sumatera Tengah segera mengadakan rapat di Gedung Tamu Agung, tempat Wakil Presiden Mohamad Hatta, sekitar pukul 09.00 WIB pagi.

Di saat-saat seperti inilah dengan ditangkapnya Presiden Soekarno dan beberapa menteri oleh Belanda, presiden sebelumnya telah membuat kawat khusus tentang penghibahan kekuasaan pusat kepada Syafruddin Prawiranegara agar membentuk Pemerintah Darurat RI (PDRI).

Meski surat itu tidak sampai ke tangan Syafruddin Prawiranegara karena wilayah udara yang dilewati pesawat-pesawat tempur Belanda, tidak memungkinkan jalur udara tenang, sehingga lalu lintas udara terganggu.

Di sinilah peran Hidayat, seorang militer dan ayahnya Dewi Rais Abin, mertua Letjen TNI (Purn) Rais Abin, sangat menentukan agar Syafruddin Prawiranegara mengambil keputusan membentuk Penerintah Darurat RI. Sekaligus menepis anggapan bahwa dengan ditangkapnya pemimpin Indonesia Negara Indonesia dianggap bubar oleh pihak Belanda.

Mencari Bahan Buku Hidayat ke Sumbar

Ketika Dewi A. Rais Abin, isteri Letnan Jenderal TNI (Purn) Rais Abin (kedua-duanya telah tiada), ingin menambahkan bahan isi buku: Hidayat, Father, Friend and A Gentlemen (Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2016), di halaman 127-138, saya menulis dengan judul: Mencari Tapak Sejarah Peranan Panglima PTTS di Sumatera Barat.

PTTS itu Panglima Tentara dan Teritorium Sumatera, yang peristiwanya terjadi pada 19 Desember 1948 dan kemudian disebut Hari Bela Negara itu.

Perlu diketahui, Hari Bela Negara yang ditetapkan pada tanggal 19 Desember, didasari atas adanya peristiwa Agresi Militer Belanda II pada 19 September 1948.

Saya dalam rangka ikut berkontribusi menyusun buku Hidayat tersebut, pada hari Kamis, tanggal 20 Oktober 2016, berangkat ke Padang dan dari Padang menuju Halaban, di Payakumbuh, Sumatera Barat.

Saya juga tidak lupa mengunjungi tempat perjuangan Syafruddin Prawiranegara di Halaban. Halaban itu lumayan jauh dari Payakumbuh. Letak di mana tempat Syafruddin dan rombongan melakukan pertemuan. Saya harus menaiki bukit untuk ke sana. Disinilah berdiri sebuah tugu PDRI.

Besoknya pada 21 Oktober 2016, saya melanjutkan perjalanan ke Koto Tinggi, Kecamatan Gunung Omeh, Kabupaten Limapuluh Kota, di mana saya tiba di sebuah patung kemerdekaan di tengah pasar. Selanjutnya saya naik bukit dengan ojek

Di sana terdapat Museum PDRI yang belum selesai.Terakhir saya dengar, Museum dan Monumen PDRI tersebut ada masalah. Pembangunannya dihentikan sementara, tetapi dilanjutkan lagi. Berhenti lagi pembangunannya.

Menurut saya, monumen dan museum yang dibangun di masa Presiden SBY ini janganlah bernasib sama seperti proyek Hambalang, juga waktu itu dibangun di masa SBY. Seandainya terjadi penguapan dana, ya, diselesaikan di Pengadilan. Bukankah biaya dari dana negara sudah banyak dikeluarkan? Selamat Hari Bela Negara 2022. Mengunjungi tempat perjuangan semasa PDRI, sama artinya, saya juga ikut membela negara.***

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Pos Terkait

Yurnaldi – Jurnalis yang Langganan Juara Menulis

YURNALDI pada mulanya adalah penulis dan baru kemudian jadi wartawan. Sebagai  wartawan profesional dengan kompetensi wartawan utama (No ID 3823), Yurnaldi adalah Lulusan terbaik UKW

Hermawan – Berkarya hingga ke Negeri Tetangga

Hermawan, akrab dipanggil An, lahir di Jakarta 14 Desember 1961. Berlatar belakang pendidikan S1 Sastra Indonesia Universitas Bung Hatta 1986 dengan skripsi “Memahami Adam Ma’rifat

Berselimut Kekeliruan Bahasa

Oleh : Firdaus Abi Ketika memulai menjadi wartawan dulu, tahun 1992, saya sering dapatkan kalimat ini; media perusak bahasa. Darah muda dari wartawan muda saya