Oleh: Saunir Saun (Anggota Satupena Sumbar)
Izinkan saya untuk menyampaikan kesan-kesan dan tanggapan terhadap pemikiran-pemikiran yang saya tangkap dan pahami dari webinar tanggal 19 Desember 2022. Webinar diselenggarakan atas kerja sama antara Satu Pena Sumbar, Talenta Indonesia, dan Museum Adityawarman sebagai salah satu kegiatan praacara International Minangkabau Literacy Festival (IMLF) 2023. Webinar berjudul Fakultas dan Produksi Sastra Yang Terus Tergerus di Sumatera Barat, dimoderatori Dr. Hasanuddin, M. Si.
Pemikiran-pemikiran mencerahkan itu saya catat sewaktu mengikuti webinar itu. Alasan lain adalah karena pendeknya waktu waktu itu, saya tidak sempat menyampaikannya secara langsung secara lisan. Semoga tulisan ini tidak melenceng dari yang dimaksud oleh para narasumbernya.
Bagi saya, pada awal membaca judul dari webinar itu, judul itu sangat mencemaskan karena di dalamnya ada makna telah terjadi kemunduran ke-sastra-an sampai kini dibanding dengan di masa lampau di Sumatera Barat. Artinya, Fakultas Sastra dan produk/karya sastra itu mulai terhancurkan sedikit demi sedikit tetapi terus menerus dan, akhirnya, tidak ada lagi. Itulah kira-kira maksud dari ‘terus tergerus’ itu.
Dalam tulisan saya yang “go here and there” ini, saya akan lebih banyak melihat kepada ketergerusan sastra, bukan lembaganya seperti Fakultas Sastra (yang sekarang di beberapa perguruan tinggi [PT] telah berubah nama).
Kesan yang ditimbulkan dari pemahaman itu bagi saya adalah kesedihan dan juga kegamanggan akan makin habisnya produksi karya sastra. Padahal kita tahu bahwa sastra itu berperan penting dalam kehidupan kita, terutama dalam pembinaan karakter suatu bangsa. Sebuah karya sastra tentu akan merefleksikan sebuah atau beberapa aspek kehidupan manusia atau komunitas manusia.
Dengan demikian, karya sastra yang didasarkan pada nilai-nilai yang dianut oleh suatu masyarakat atau bangsa ataupun dunia akan membantu anak-anaknya membangun sendiri karakternya. Pemahaman dan juga, tentu, peniruan karakter itu akan menjadikan seseorang berkarakter seperti yang dibacanya dari sebuah karya sastra. Paling tidak nilai yang didapatnya dari sebuah karya sastra akan mempenagruhinya. Kalau produksi karya sastra makin lama makin tergerus, tentu ini akan menyedihkan kita sebagai bangsa di masa yang akan datang.
Nampaknya negara-negara maju lebih menyadari perlunya anak-anak mereka membaca karya sastra, mungkin karena kesadaran seperti yang dimaksud di atas. Dalam sebuah pertemuan ilmiah dengan seorang pejabat tinggi Debdikbud (waktu itu) beberapa waktu yang lalu, beliau menyebutkan bahwa beberapa negara-negara maju seperti Amerika Serikat, Israel, Jepang dan Korea Selatan telah memasukkan sejumlah cukup (agak banyak) karya sastra ke dalam kurikulum sekolah mereka, yaitu dari sekolah dasar (SD) sampai sekolah menengah. Artinya, sampai sekolah menengah (tidak disebutkan tingkat SMP atau SMA), seorang anak telah membaca beberapa karya sastra terpilih. Beberapa negara lainnya di Asia sudah ada yang memasukkan karya sastra itu tetapi tidak berapa jumlahnya. Yang menyedihkan, kata beliau, Indonesia tidak memasukkan hal seperti itu ke dalam kurikulum sekolahnya (pada waktu itu). Wallohu a’lam.
Sastra, menurut saya, paling tidak memberikan kesenangan batin/hati bagi pembacanya, selain dari mendapatkan pengetahuan karakter baik. Saya bukanlah sastrawan, yang tentu banyak membaca dan menulis karya-karya sastra, tetapi saya dari dahulu sangat suka dan senang membaca karya-karya sastra dari jenis apa saja, walau belum banyak. Saya rasakan senang dan nikmatnya membaca karya-karya sastra itu. Saya berusaha memeroleh buku sastra untuk saya baca. Reading for enjoyment-lah, begitu.
Jadi menurut saya, webinar dengan judul seperti di atas yang diangkat oleh Panitianya adalah sangat tepat untuk mengantisipasi jangan sampai terjadi kekosongan karya sastra baru kini dan di masa yang akan datang di Sumatera Barat khususnya dan di Indonesia umumnya. Menurut saya, walaupun bagi Panitia mungkin telah menampak gejala itu, namun, webinar dengan judul yang bernuansa cemas itu adalah untuk “takalok manjagokan” bagi masyarakat Sumbar dan pemerintah-pemerintah (Pemda-pemda) yang ada di provinsi ini. Agar tidak ada “sasa kudian” atau “penyesalan di kemudian hari” nanti.
Saya tidak tahu pasti sampai di mana ketergerusan Fakultas Sastra di Sumatera Barat dan produksi sastra juga di Sumatera Barat sekarang seperti yang dicemaskan oleh Panitia webinar itu. Namun, dua dari narasumber webinar ini’ yaitu Ibu Dra. Hj. Armini, M. Hum. (dari Unand) dan Ibu Dr. Yeni Hayati, M. Hum. (dari UNP), memberi kabar gembira, paling tidak dapat mengurangi rasa cemas kita, bahwa produksi karya sastra dan semangat peminat sastra untuk menghasilkan karya sastra di kampus-kampus itu dan kampus-kampus lain masih nampak geliatnya. Banyak warga kampus (dosen dan mahasiswa) yang menghasilkan karya sastra, dan mereka tidak hanya dari Fakultas Sastra.
Hanya saja gaungnya, menurut beliau, tidak terasa cukup kuat di kancah nasional. Kalau memang begitu adanya, tentu, tugas kita “orang-orang Sumbar” ini adalah bagaimana membantu atau membukakan jalan agar mereka parapegiat sastra di daerah ini, terutama yang di kampus-kampus dapat masuk ke dalam kancah nasional itu agar mereka dapat dikenal seperti pegiat-pegiat sastra masa lalu, yang telah membuat kita bangga dan kita bangga-banggakan.
Dengan adanya Satupena Sumbar yang mewadahi dan mendorong dengan moral serta memfasilitasi dengan kegiatan-kegiatan yang dapat menyemangati para penulis yang telah “jadi”, penulis pemula dan bahkan calon penulis untuk menulis, tentu juga menulis karya sastra untuk kemajuan literasi di Sumatera Barat. Untuk itu, kita perlu sekali menyambut semangat dari pengurus Satupena Sumbar yang diketuai atau “dikomandoi” oleh Ibu Sastri Y. Bakry yang sangat motivating itu.
Hal lain yang tidak kalah menariknya bagi saya adalah paparan Pak Dr. Sahrul N. Pak Sahrul N. mengemukakan dua hal yang berkait dengan sastra itu, yaitu cipta sastra dan kajian sastra. Menurut beliau, hendaknya ada pemisahan fokus pengajaran yang ditawarkan kepada mahasiswa antara cipta sastra dan kajian sastra. Bahkan Pak Sahrul N nampaknya setuju kalau fakultasnya pun dipisah. Pada ‘cipta sastra’ mahasiswa diarahkan untuk menjadi pencipta karya sastra, yaitu memproduksi karya-karya sastra. Sedangkan pada ‘kajian sastra’ lebih diutamakan untuk mengkaji/mempelajari teori-teori sastra. Dengan demikian mahasiswa yang mengambil kajian sastra akan menjadi orang “hebat” dalam kritik sastra. Jadi lebih teoretis. Kira-kira begitu.
Menurut Pak Sahrul N. lagi, kalau sekarang mahasiswa yang menjadi sastrawan (maksudnya, tentu, penghasil karya sastra) adalah karena kelompok mereka. Kelompok untuk kegiatan sastra yang mereka buat, bukan karena pengaruh mata kuliah di Fakultas mereka (tentu Fakultas Sastra).
Saya memahami bahwa Pak Sahrul N. ingin mengatakan bahwa ‘cipta sastra’ lebih kepada praktik untuk menciptakan atau melahirkan karya sastra. Sedangkan ‘kajian sastra’ itu dimaksudkan untuk memberikan teori-teori sastra. Teori-teori inilah yang akan menjadi ilmu bagi mereka yang memilih ini untuk melakukan kritik terhadap sebuah karya atau produk sastra.
Bagaimana perlakuan pengajaran untuk kedua yang berbeda ini? Saya ,yang relatif lama menjadi pengajar/pengampu mata kuliah TEFL (Teaching English as a Foreign Language), yaitu mata kuliah yang membahas/memberikan pengetahuan tentang bagaimana mengajarkan bahasa Inggris sebagai bahasa asing. Karena sebagai bahasa asing, bahasa Inggris, tentu, berbeda cara mengajarnya dari bahasa Inggris sebagai bahasa ibu bagi anak-anak Inggris, Amerika Serikat, dll. dan juga bahasa Inggris sebagai bahasa kedua seperti untuk anak-anak Singapura, dll.
Dalam pemabahasan di TEFL itu juga ada perbedaan pendapat ahli/metodologis pengajaran bahasa, walaupun dalam tingkat yang berbeda-beda pula. Ada yang cenderung mengutamakan juga untuk tetap mengajarkan teori-teori bahasa (seperti grammarnya) dan ada pula yang cendrung kepada penggunaan bahasa itu sebagai alat komunikasi.
Pada yang cenderung teoretis, mereka mengajarkan teori bahasa itu dan baru ada latihan/praktik menggunakannya sekadarnya. Mereka lebih banyak memberikan teori atau aturan-aturan bahasa atau usage. Inilah pendekatan stuktural dalam pengajaran bahasa. Bahkan masih ada guru bahasa Inggris kita yang hanya mengajar teori bahasa kepada siswa-siswanya. Anak dianggap hebat dalam bahasa Inggris kalau hebat pengetahuannya pada grammarnya. Pada orang yang berpandangan komunikatif, mereka akan cenderung memberikan latihan menggunakan bahasa itu dalam konteks terlebih dahulu dan lebih banyak, walaupun teori bahasa yang perlu dibahas, dijelaskan seperlunya. Inilah pendekatan komunikatif yang mementingkan use (penggunaan).
Alhasil, pendekatan teoretis struktural menghasilkan (maha)siswa-(maha)siswa yang “hebat” dalam teori aturan bahasa. Sedangkan pendekatan komunikatif mengahasilkan (maha)siswa-(maha)siswa yang “hebat” dalam menyampaikan/mengomunikasikan ide atau pikiran dan perasaan mereka dalam bahasa Inggris itu. Secara ringkas dan secara teoretis, dapat disampaikan bahwa pengajaran dengan pendekatan struktural akan membuat (maha)siswa-(maha)siswa “hebat” dalam teori sehingga produksi bahasanya cenderung benar (correct) tetapi cenderung kaku. Sedangkan pengajaran dengan pendekatan komunikatif, akan membuat (maha)siswa-(maha)siswa menjadi penutur bahasa yang cederung lancar (fluent) walaupun akan terkesan agak mengabaikan teori bahasa.
Tentu saja lebih baik, kegiatan penggunaan suatu bahasa yang baik dan menarik itu adalah penggunaan yang benar dan lancar (correct and fluent). Pengajarlah yang akan membuat keadaan begini tercapai, walaupun fokus awalnya berbeda.
Barangkali pikiran bagus Pak Sahrul N. tentang “pemisahan” antara cipta sastra dan kajian sastra itu (hampir) sama dengan perlakuan terhadap bahasa Inggris (juga bahasa-bahasa asing lainnya) yang saya kemukakan di atas: yang satunya lebih kepada menggunakan dan yang satu lagi lebih kepada mengkaji teorinya.
Demikainlah, tulisan yang hanya berupa kesan dan tanggapan saya terhadap beberapa ide yang berkembang pada webinar tsb. Saya tulis ini, walaupun tidak dalam bentuk tuiisan ilmiah, hanya untuk menunjukkan ketertarikan dan penghargaan saya saja terhadap pemikiran-pemikiran yang mencerahkan dari para narasumber webinar itu.
Maaf dan terima kasih. Akan diperbaiki kalau ada kekeliruan dari yang semestinya.
Padang, 20 Desember 2022.