Buku Bung Hatta and Boven Digoel Dibedah Doktor dari UNP dan UIN IB

Satupenasumbar.id –  Dewan Pimpinan Daerah (DPD)  SatuPena Provinsi Sumatra Barat (Sumbar)  menyelenggarakan kegiatan bedah buku berjudul Bung Hatta and Boven Digoel  When a Papuan Cried to Me, (Bung Hatta dan Boven Digoel Ketika Seorang Papua Menangis Padaku) karya Ketua  DPD SatuPena Provinsi Sumatra Barat  Sastri Bakry, Kamis (20/6/2024) di salah satu café di jalan Samudera Padang.

Kepala Dinas Kebudayaan Sumbar  Jefrinal Arifin diwakili Sekretaris Dinas Kebudayaan Sumbar, Yayat Wahyudi A. ST, M.Si, yang membuka acara bedah buku tersebut mengatakan, bedah buku merupakan kerja-kerja yang cerdas. Sehingga kegiatan ini perlu dicontoh untuk  meningkatkan literasi dan ilmu pengetahuan.

“Dinas Kebudayaan Provinsi Sumatera Barat sangat mengapresiasi kegiatan ini. Melalui bedah buku kita dapat melihat sisi baik dan kurangnya sebuah buku. Apalagi yang membedah atau pembicara yang tampil ini dua orang doktor dari UNP dan UIN Imam Bonjol Padang,” kata Yayat.

Ketua DPD SatuPena Sastri Bakry sekaligus penulis buku yang dibedah, menyebutkan salah satu program DPD SatuPena adalah mendiskusikan dan membahas  buku-buku yang ditulis pengurus dan anggota SatuPena Sumbar. Karena itu, pada bedah buku  ini   jangan sungkan untuk mengkritisinya.

Sastri Bakry juga memaparkan terkait bukunya yang dibedah, Bung Hatta berjuang untuk bangsanya, tujuannya untuk memajukan bangsa. “Bung Hatta rela dibuang ke Boven Digoel. Ternyata setelah puluhan tahun setelah Bung Hatta dibuang ke Boven Digoel, saya  pergi ke sana. Boven Digoel masih seperti puluhan tahun lalu,” ujar Sastri lagi.

Wanita yang tengah berulang tahun ke-66 tahun ini juga mengungkapkan, perjuangan Bung Hatta hingga kini masih belum sempurna dinikmati rakyat sebagaimana yang diperjuangkannya. Karena sampai sekarang korupsi masih tetap ada.

Tampil sebagai pembicara  dosen Fakultas Bahasa Sastra  Universitas Negeri Padang (FBS UNP) Dr. Andria Catri Tamsin, M.Pd dan dosen Fakultas Dakwah dan Ilmu Komunikasi (FDIK) Universitas Islam Negeri (UIN) Imam Bonjol (IB) Dr.Abdullah Khusairi, M.A.

Menurut  Andria Catri  Tamsin, tujuan dari bedah buku ini guna mentransfer keilmuan dan wawasan. Puisi-puisi yang ditulis menggambarkan situasi bahasa si penulisnya.

Sementara  Abdullah Khusairi menjelaskan, kelebihan penulis buku ini (Sastri Bakry) adalah mengungkapkan apa adanya. Sehingga Sastri dari puisi-puisinya dalam buku ini seperti pengkritik sosial yang baik sekaligus reportase yang baik. Karena di berbagai daerah yang dikunjunginya, melahirkan puisi yang menggambarkan daerah tersebut.

“Artinya, si penulis menuliskan momen di mana si penulis itu berada. Sehingga estetika bahasa tidak sampai ke situ yang menjadi perhatian si penulis. Bahasa yang digunakan pun ringan dan mudah dimengerti oleh pembaca. Sehingga buku ini memang sangat layak untuk segmen pembaca di taman bacaan yang barusan tadi  diberikan sebagai donasi. Sehingga pembacanya lebih tertarik untuk membaca buku ini,” tutur Abdullah Khusairi Wakil Dekan III UIN IB Padang ini.

Bedah buku yang dimoderator Sekretaris DPD SatuPena Sumbar  Armaidi Tanjung. Dihadiri 60 orang diantaranya Ketua Forum Siti Manggopoh Basnurida, seniman, wartawan, penulis mahasiswa pelajar, Pengelola TBM Komunitas Lambang Pariaman Ai Kurnia Sari, Pengeloa TBM Nagari Sintuak Aqil Septian,  TBM Permata Hati Welly, dan undangan lainnya. Juga pembacaan puisi oleh Zamzami, Rizal Tanjung dan Andria Catri Tamsin. (R/*)

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Pos Terkait

Yurnaldi – Jurnalis yang Langganan Juara Menulis

YURNALDI pada mulanya adalah penulis dan baru kemudian jadi wartawan. Sebagai  wartawan profesional dengan kompetensi wartawan utama (No ID 3823), Yurnaldi adalah Lulusan terbaik UKW

Hermawan – Berkarya hingga ke Negeri Tetangga

Hermawan, akrab dipanggil An, lahir di Jakarta 14 Desember 1961. Berlatar belakang pendidikan S1 Sastra Indonesia Universitas Bung Hatta 1986 dengan skripsi “Memahami Adam Ma’rifat

Berselimut Kekeliruan Bahasa

Oleh : Firdaus Abi Ketika memulai menjadi wartawan dulu, tahun 1992, saya sering dapatkan kalimat ini; media perusak bahasa. Darah muda dari wartawan muda saya